Halaman

Jumat, 15 Januari 2010

Senandung Rindu


Sebuah ungkapan tulus dari seorang anak manusia..

Entah mengapa hari ini perasaanku berubah menjadi sedikit melankolis. Ketimbang digunakan untuk nonton film india yang mengharu biru mehabisi tisu. Alangkah lebih baiknya kumanfaatkan melankolisnya ku ini untuk sedikit membuat coret-coretan tulisan yang mungkin menurutmu ngga berarti, tapi bagiku penuh arti. Ya kali aja yang ngebaca artikel butut ini bisa kebawa suasana.. Aamiin…

Kau adalah bintang digelapnya malam
Tidak, kau lebih dari itu

Kau adalah kicauan merdu burung disejuknya pagi
Tidak, kau lebih dari itu

Kau adalah venus dengan cahaya menawan
Tidak, kau lebih dari itu

Kau adalah rangkaian kata-kata indah khalil Gibran
Tidak, hal itu takkan menandingimu

Kau adalah simfony yang mengalun merdu
Tidak, hal itu takkan menandingimu

Kau adalah pelindung lemahnya hatiku
Ya, itu saja.


Sahabat pernah bertanya kepada Rasul “Siapakah yang harus dihormati didunia ini ya Rasul”. Rasulpun menjawab “Ibumu” siapa lagi ya Rasul “Ibumu” Lalu siapa lagi “Ibumu” “lalu bapakmu” Sungguh betapa mulianya peran seorang ibu hingga Rasul menyarankan kita untuk menghormati ibu dibandingkan yang lain.

Ada sebuah kisah yang mungkin bisa menjadi pelajaran bagi kita. Sebut saja namanya bunga (bukan nama sebenarnya).
Pada suatu malam bunga bertengkar hebat dengan ibunya. Masalahnya sangat sepele, bunga tidak diijinkan ibunya pergi kepuncak bersama teman-temannya besok pagi.
Karena sangat marah dengan ibunya, bunga meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan tanpa tujuan, bunga baru sadar kalau dia sama sekali tidak membawa uang. Ditambah lagi dia belum makan dari siang.
Saat menyusuri jalan digelapnya malam, ia melewati sebuah kedai mie ayam. Ia ingin sekali memakan semangkuk mie ayam. Pemilik kedai tanpa sadar melihat bunga yang sudah lama berdiri didepan kedainya.
“Ada apa dek? Kok mulai tadi berdiri didepan. Mau mesan mie ayam ya dek?” Tanya pemilik kedai.
“Iya pak, tapi saya tidak membawa uang” Jawab bunga dengan malu-malu
“Tidak apa-apa, malam ini dagangan bapak banyak yang laku, biar bapak beri kamu semangkuk mie ayam gratis” Kata pemilik kedai “Silahkan duduk, bapak akan membawakan semangkuk mie ayam untukmu.”
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk mie ayam. Bunga segera memakan mie ayam dengan lahapnya. Tidak lama kemudian air matanya mulai berlinang.
“Ada apa dek? Kok menangis” Tanya pemilik kedai
“Tidak apa-apa pak, saya hanya terharu. Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberikan aku semangkuk mie ayam! Tetapi, Ibuku sendiri, setelah bertengkar dengannya. Mengusirku dari rumah dan mengatakan agar tidak kembali lagi kerumah” Jawab bunga sambil menghapus air matanya
“Bapak seorang yang baru kukenal begitu peduli dan perhatian dengan ku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri” Tambah bunga
Setelah mendengar jawaban dari bunga, pemilik kedai tersenyum dan berkata.
“Adek mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberi semangkuk mie ayam dan kau menjadi begitu terharu. Sedangkan ibumu telah memasak makanan untukmu sejak kecil, melahirkanmu, membesarkanmu, meluapkan seluruh kasih sayangnya untukmu, memberikan senyuman indah untukmu, menangis karena kenakalanmu, membimbingmu dan selalu berada disampingmu. Lantas pernahkah engkau terharu atas jasa-jasanya? Melebihi rasa terharumu dari semangkuk mie ayamku. Pernahkah kau berterima kasih kepadanya, melebihi rasa terima kasih yang kau ucapkan kepadaku. Dan sekarang kau malah bertengkar dan membenci dirinya.”
Bunga terhenyak mendengar kata-kata pemilik kedai
“Mengapa aku tidak berpikir hal tersebut? Untuk semangkuk mie ayam dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya”
Bunga segera menghabiskan mie ayam, lalu ia memutuskan untuk segera pulang. Bunga berlari dengan kencang sambil menghapus air mata yang mulai tadi membasahi pipinya. Ia sangat menyesal. Teringat kembali kalimat yang diucapkan pemilik kedai “Aku hanya memberimu semankuk mie ayam saja engkau sangat terharu, Lantas apa yang dilakukan ibumu selama ini, pernahkah engkau terharu dan berterima kasih?”
Begitu sampai dirumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas. Ketika melihat bunga wajah ibunya begitu bahagia.
“Bunga kamu sudah pulang, masuklah nak ibu minta maaf. Ibu terlalu emosi menyikapi hal tadi. Masuklah nak, peluk ibumu. Ibu sudah memasakkan makanan kesukaanmu, kamu pasti suka”
“Ibu maafin bunga ya, bunga tak pernah menyadari betapa besar pengorbanan dan kasih sayangmu. Betapa banyak air mata yang kau keluarkan Karena ulah anakmu ini. Betapa indah senyumanmu yang selalu engkau berikan. Aku mencintaimu ibu, maafin bunga” Jawab bunga sambil memeluk ibunya

Kasih ibu ibarat sebuah lingkaran, tak berawal dan tak berakhir
Kasih ibu itu senantiasa berputar, dan terus menurus berputar
Damainya melingkupi seperti kabut pagi
Menghangatkan seperti matahari senja
Dan menyelimuti seperti bintang-bintang malam.

Teringat kembali sebuah lagu yang mungkin bisa mengingatkan kita akan jasa besar seorang ibu.

Kubuka album biru…
Penuh debu dan usang…
Ku pandangi semua gambar diri…
Kecil bersih belum ternoda …

Pikirkupun melayang …
Dahulu penuh kasih…
Teringat semua cerita orang…
Tentang riwayatku …

Kata mereka diriku slalu dimanja…
Kata mereka diriku slalu ditimang…

Hmm, kasih sayangmu teramat tulus dan suci,
Teringat ketika ku masih kecil dulu, ketika pada suatu hari anakmu yang kreatif ini berusaha membuat layangan. Meraut ruas demi ruas bambu, tanpa tersadar pisau yang ku gunakan menyayat jempol tanganku. Masih teringat akan rasa sakit itu, masih teringat darah segar mengalir itu, masih teringat tangis itu membahana menyibak sunyi. Engkau ibu, dengan sigapnya membawaku kerumah sakit dengan berlari. Padahal jaraknya hampir 1 Km. Aku menangis sejadi-jadinya, dan engkaupun menangis jua. Aku tahu engkau merasakan apa yang kurasa, aku tahu engkau lelah menggendongku sambil berlari.
Masih ku ingat jelas, ketika air matamu bersinergi dengan lembutnya awan hari itu. Membuatku merasa damai dan tenang. Ketika bibirmu acap kali mengatakan kata-kata lembut penguat hati. Tapi tetap saja jempol ini telah sama-sama bersinergi baik dengan otak. Membuat rasa sakit ini terasa disekujur tubuh.
Setelah sampai dirumah sakit, dokter dengan sok tahunya mengatakan bahwa luka yang ku alami teramat dalam, sehingga harus dijahit. Ibuku dengan teramat jenius mengatakan “ngga bisa diperban aja ya dok?” ngga bisa bu, soalnya kalau diperban aja darahanya akan terus mengalir. Antara sok tahu dan bijak kata-kata dokter tadi, tapi aku tak memperdulikannya, rasa sakit ini telah menutupi segala logika. Tangis inipun menjadi senjata andalan dan pamungkas sebagai refleksi rasa sakit. Aku tahu engkau begitu khawatir atas keadaanku, engkau mencoba menguatkanku. Tapi engkau tak bisa membohongiku, engkau merasakan sakit ini, engkaupun menangis jua. Kucoba menjadi tegar ketika melihat senyuman indahmu. Dan ternyata senyumanmu menjadikan obat bius yang ampuh bagi diriku. Dan matamu mencoba berkata “Ku merasakan sakit itu nak, sakit memang tapi itu hanya sementara”
Teringat ketika kau menemani tidurku. Aku merebahkan diri disampingmu, begitu tenang begitu syahdu. Ku pandangi wajahmu, begitu sempurna layaknya seperti kabut tipis begitu lembut dan meneduhkan. Belaianmu dirambutku, mengalirkan kasih sayang itu. Ketika ku dekap kau, kau dekap lebih mesra. Lebih dekat dan ku berkata kudengar detak jantungmu didinginnya malam sampai aku tertidur pulas. Dan dipenghujung sadarku, kudengar kau berdoa dengan lirih “Jagakan anakku ini ya Allah hingga besok pagi ia mampu tersenyum lagi”
****
Terima kasih mama,
Atas terikanmu yang menggangu tidurku setiap subuh. Terikan yang selalu engkau ulangi setiap harinya. Hingga telinga ini sangat merindukan teriakanmu ketika aku sedang jauh darimu.

Atas alunan doa yang tak hentinya engkau panjatkan dipenghujung sholatmu. Doa yang spesial kau bingkiskan untukku, untuk kebahagiaanku dunia akhirat.

Atas berbagai kisah yang selalu kau bacakan menjelang tidurku. Jujur, bukan kisah itu yang membuatku terlelap tidur, tapi karena suaramu, ya karena suaramu terlampau merdu ditelingaku.

Atas amarahmu yang membuatku tersadar akan segala kesalahanku.

Atas nasihatmu, atas bimbinganmu, atas senandung indah yang kau nyanyikan, atas ajaramu, atas senyuman hingga tatapan mata yang indah yang tak mampu kulupakan.

Atas telpon yang mengingatkanku untuk belajar sampai sekarang. (sory ma, engkau kira didepan laptop ini aku belajar untuk final, padahal cuma main game)

Atas makanan yang selalu kau buatkan, terlampau enak untuk disisakan.

Atas segenap cinta dan kasih sayang.

Yang hingga kapanpun takkan pernah sanggup untuk membalasnya.
****

Yaa Allah betapa keraskah hati hambamu ini sehingga baru sekarang hamba menyelami kasih sayang orang tua hamba.
Ya Allah terima kasih atas sifat Rahman dan Rahim-Mu yang kau percikan sedikit untuk orangtua hamba. Sungguh yang kau berikan itu hanya setitik air dilautan, tapi bagiku itu sudah sangat sempurna.

(Dikalahatiiniterasasejukdiawalpagi)
Terinspirasi dari artikel blog doktermudaliar.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar